Bahkan, pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa selama 10 tahun, kata Boni isu tersebut tak di kencang seperti era kepemimpinan Jokowi Saat ini. Kalau pun isu PKI itu ada, namun tak sekencang di era kepemimpin Jokowi saat ini.
"Saya punya pertanyaan kenapa 10 tahun SBY berkuasa tidak ada isu PKI. Kalaupun ada tidak sekencang hari ini. Kenapa waktu Jokowi isu itu kencang," kata Boni dalam acara diskusi yang bertajuk Membedah Agenda Politik Komunisme & Khilafah di Pilpres 2019” di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/10).
Menurutnya, Komunisme itu bukan fakta hukum, tetapi komujisme itu adalah sebuah ilusi. Bahkan, dia pun melihat bahwa isu terhadap kebangkitan PKI itu adalah sebuah wacana politik komunisme yang paralel.
"Saya mau mengatakan bahwa hati-hati kita harus membedakan kapan kita berilusi dan kapan kita berbicara kenyataan," tegasnya.
Sementara itu, mantan Kepala Staf Kostrad ABRI, Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen menegaskan, kebangkitan PKI merupakan sebuah fakta. Sebab dari pengamatannya bahwa, isu itu bukan hanya sebuah ilusi. Karena, selain para aktivis mahasiswa, elemen PKI juga ikut dalam aksi melengserkan Presiden RI ke-2, Suharto.
"Soeharto hancur, siapa yang menghancurkan elemen komunis. Elemen Partai Rakyat Demokratik, Forkot, Fordem saya lihat mereka demo pakai (lambang) komunis. Saya ga sendiri. Sampai di Tugu Proklamasi dia bawa anak Forkot, Fordem dan PDI," katanya.
Lebih lanjut purna wirawan anggota TNI itu menjelaskan, terkait kebangkitan PKI itu tak sampai setelah presiden Suharto itu tumbang. Namun, pada era pemerintahan Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur) juga, elemen komunis masih terus beraksi. Dimana, kata Kivlan mereka (PKI), dengan terang-terangan mendesak pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga PKI.
"Gus Dur minta maaf tapi secara pribadi bukan presiden," tegasnya.
Tak hanya itu saja, pada tahun 2003 lanjut Kivlan, ada juga upaya dari elemen komunis yang meminta dibuatkan Undang-Undang Rekonsiliasi. Namun pada akhirnya UU itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Namanya UU rekonsiliasi supaya mereka tidak salah, ini fakta bukan ilusi," jelasnya.
Dengan tegas Kivlan mengatakan, bahwa saat ini, komunisme masih eksis di Indonesia. Mereka dibina oleh seorang profesor dari Amerika Serikat. Profesor itu yang mendidik kader-kader komunis agar bisa masuk ke dunia kepemerintahan, dan DPR.
"Waktu Jokowi mau jadi presiden mereka datang dan menawarkan dukungan 15 juta dengan syarat Jokowi harus minta maaf dan meminta rehabilitasi. Waktu itu Jokowi tolak. Tapi saya baca konsep pidato RAPBN 16 Agustus 2015, mau dimasukan mohon maaf negara dan rehabilitasi. Tapi tidak dibacakan. Masih ada sama saya lampiran Pak Jokowi minta maaf, tapi tidak dibaca," jelasnya.
Untuk itu, Kivlan meminta semua pihak berhati-hati akan bahaya laten dari komunis tersebut.
"Orang komunis ini sifatnya adalah militan, propaganda, fitnah segala macam. Itu makanya kita hati-hati," tutupnya.goms