Kasus di Jakarta saat ini berkisar 6 ribu kasus. Sedangkan angka kasus nasional sudah mencapai angka 19 ribu kasus.
"Artinya sudah di bawah sepertiga kasus. Tahapannya itu makin hari Jakarta gap nya ditinggalkan oleh nasional, kesannya begitu kan. Bahkan lihat Jatim, Jabar pelan-pelan sudah membesar juga. Kalau digabungin sudah mendekati Jakarta," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (20/5/2020).
PSBB di Jakarta, sambungnya, berhasil mengurangi mobilitas penduduk. Hal ini kemudian berefek kepada jumlah kasus yang positif makin hari makin mengecil.
Dia yakin PSBB III Jakarta ini akan jadi yang terakhir jika bisa dilakukan secara konsisten. Inkonsistensi muncul ketika ada kebijakan dari pusat yang bertentangan dengan regulasi yang ada di PSBB. Misalnya ketika pemerintah pusat mengizinkan sarana transportasi beroperasi secara terbatas.
"Kalau disiplin tidak digangguin, itu bisa. Cuma persoalannya di bandara itu orang masuk Jakarta atau enggak? itu pertanyaannya," ujarnya.
Yang kedua, lanjut Edu Surya, saat ini tengah masuk fase lebaran dimana orang pada mudik. Dengan begitu Jakarta kosong, potensi kasus Jakarta turun. Tapi nanti pas baliknya itu akan akan melonjak karena banyak yang kembali ke Jakarta.
Ede Surya menyatakan, konsep berdamai dengan corona kurang cocok. Dia meyakini pandangan itu muncul karena adanya desakan ekonomi dari banyak orang tidak bisa berjalan selama masa pandemi.
"Bukan berdamai dengan corona. Tapi ada perubahan, kita gak bisa hidup biasa lagi. Corona gak bisa diajak damai. Kita mesti hidup dengan cara baru yang tidak akan menukarkan virus corona. Kalau damai itu ya sudahlah kita terima. Emang coronanya melemahkan diri, kan enggak. Kalau corona bisa diajak bicara kita nego, sudah ya kita damai," jelasnya.
Dia menegaskan kondisi itu tentu tidak mudah. WHO dalam persyaratannya untuk menuju ne normal menyebutkan sejumlah hal. Yakni, pertama, transmisi terkendali. Tidak ada penularan baru, kalaupun ada satu dua se-Indonesia.
Dua, kapasitas sistem kesehatan berjalan dengan baik untuk mendeketeksi, melakukan testing, mengisolasi dan mengobati yang terkena kasus serta melakukan kontak tracing.
"Jadi kalau seseorang terkena Covid-19, Anda ketmu siapa, itu ditelusuri dengan baik. Kalau itu tidak berjalan susah," ujarnya.
Ketiga, resiko wabah sudah minimal. Seperti misalnya sudah memiliki kemampuan fasilitas kesehatan siap dan pelayanan di rumah. Rumah sakit sudah siap di rumah sudah.
"Pertanyannya apakah seluruh Indonesia sudah siap?" sambungnya.
Keempat, sambungnya, ukuran pencegahan sudah berjalan. Misalnya tempat kerja, sekolah dan lain yang esensial tempat orang pergi harus ada tempat cuci tangan bermasker dan lainnya.
kelima, resiko penting itu udah bisa dikelola, misalnya kalau ada lonjakan kasus sudah siap, tak ada lagi kekurangan APD, tak ada lagi petugas kesehatan yang kena.
Keenam, komunitas dan masyarakat fully educated. Masyarakat sudah benar-benar dipahamkan, karena fully educated itu bukan lagi terdidik tapi paham, terkibat dan berdaya untuk melaksanakan new normal.
"Melihat parameter itu, sudah layak nggak Indonesia beranjak ke new normal?" pungkas Ede Surya Darmawan.tan